Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kesehatan balita dan remaja

PEMBAHASAN

A.     Telaah Tentang Kebijakan
1.      Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75).
Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yangg ada.
Masih banyak kesalahan pemahaman maupun kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat berbeda dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan formal organisasi.
Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro.
2.      Fungsi Kebijakan
Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan (Pongtuluran, 1995:7).
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.

3.    Pendekatan dan Model Kebijakan
Ada tiga pendekatan yang sering digunakan para manajer dalam praktik pengelolaan organisasi, sebagaimana dikemukakan Linblom, yaitu:
a.    Pendekatan analisis, yaitu suatu proses membuat kebijakan yang didasarkan kepada pengambilan keputusan tentang masalah dan beberapa pilihan kebijakan alternatif atas dasar hasil analisis.
b.    Pendekatan politik, yaitu pembuatan kebijakan atas dasar pengambilan keputusan tentang pilihan kebijakan dengan pengaruh kekuasaan, tekanan dan kendali pihak lain.
c.    Pendekatan analisis dan politik, yaitu pendekatan ini digunakan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada pendekatan analisis dan pendekatan politik.
Berkaitan dengan model, dikemukakan oleh Dror dan Islamy (1988:18) bahwa ada tujuh model kebijakan, yaitu:
a.    Model rasional murni, yaitu model yang mengembangkan kebijakan secara rasional
b.    Model ekonomi, yaitu model yang mengembangkan kebijakan berdasarkan pertimbangan faktor ekonomi.
c.    Model keputusan berurutan, yaitu kebijakan yang mendasari pengambilan keputusan atas dasar beberapa kebijakan alternatif yang diperoleh dari eksperimen.
d.    Model inkremental, yaitu model yang menggunakan pendekatan pengambilan kebijakan atas dasar perubahan sedikitt demi sedikit.
e.    Model memuaskan, yaitu model yang mendasarkan keputusan atas dasar kebijakan alternatif yang paling memuaskan tanpa menilai kritis alternatif lain.
f.     Model ekstrarasional, yaitu model yang mendasarkan pengambilan kebijakan atas dasar dan pertimbangan sangat rasional.
g.    Model optimal, yaitu model yang mendasarkan pengambilan keputusan atas dasar gabungan berbagai metode secara terpadu untuk menghasilkan kebijakan yang optimal dan dapat diterima oleh semua pihak.
                      Berdasarkan pendapat di atas, model kebijakan adalah suatu bentuk kebijakan yang diambil atas beberapa pertimbangan, baik dari pertimbangan, tujuan, strategi maupun keperluan lingkungan eksternal.
B.   Kebijakan Pendidikan
1. Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
a.         Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti;
b.         Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
c.         Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional;
d.         Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana memadai;
e.         Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
f.          Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
g.         Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya;
h.         Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
2.  Kriteria Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
a.         Memiliki tujuan pendidikan.
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b.         Memenuhi aspek legal-forma.
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c.         Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
d.        Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
e.         Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
f.          Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya.
3.    Kebijakan Pendidikan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya. Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas. Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun diterapkan prinsip ‘link and match”.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita, sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam menjalankan kebijakan baru.
4.    Kebijakan Pendidikan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:.
a.    Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana, dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik.
b.    Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme vouchers, atau matching grant, dan “sponsorship dunia usaha” dalam pembiayaan pendidikan.
c.    Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas birokrasi seperti tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag), tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi.
d.   Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani. Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat berkembang secara lebih seimbang.



5.    Kebijakan Otonomi Pendidikan
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25 tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap datang sang penyelamat, yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi “projek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang telah dijalankan di beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
a.         Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
b.        Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
c.         Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
d.        Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
e.         Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
f.         Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
g.        Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana
Kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah sebagai berikut, diantaranya:
a.         Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih dari 20 tahun bergelut dengan persoalan-persoalan kuantitas.
b.        Pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.
c.    Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan.
d.    Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya.
e.    Pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada tingkat pedidikan dasar dan menengah; penataan kelembagaan pada level dan tempat yang menjadi faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan.
f.     Sudah selayaknya jika otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntabiliti terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan.
g.   Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuan.
h.    Dalam konteks otomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-semata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.
i.  Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6)
Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a.         Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat.
b.        Pendelegasian, yaitu pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik
c.         Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d.        Swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan.
Dalam kasus Indonesia, sejauh yang telah dilakukan nampaknya cendrung mengambil bentuk yang terakhir, swastanisai.
Menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah dan kelemahan yang sering diangkat dalam konteks ini adalah:
a.         Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita masyarakat Indonesia di berbagai daerah.
b.        Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian target kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Proses pembelajaran sangat berorientasi pada ranah kognitif dengan pendekatan formalisme dan pada saat yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik.
C.      Kebijakan Pemerintah Pada Balita Dalam Kesehatan
1.        Puskesmas
Pengaruh krisis ekonomi terhadap kinerja puskesmas secara umum dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
a.     Penurunan kemampuan Puskesmas
Penurunan kemampuan Puskesmas ini disebabkan antara lain :
1)        Menurunnya persediaan obat
Sebagian besar bahan baku obat masih diimport. Dengan kenaikan nilai mata uang asing sebesar 3 kali lipat berarti menurunnya penyediaan obat sebanyak 1/3 kali.
2)        Menurunnya penyediaan alat kesehatan dan reagensia
Walaupun sebagian besar alat kesehatan dan reagensia sudah diproduksi di dalam negeri, tetapi akibat inflasi menyebabkan kenaikan harga alat kesehatan/reagensia sulit dihindari.
3)        Menurunnya kemampuan pembiayaan program/pelayanan kesehatan
Inflasi mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa yang diperlukan untuk mendukung pelayanan kesehatan masyarakat. Misalnya transportasi, bahan habis pakai, alat tulis kantor dan lain-lain. Akibatnya kemampuan pelayanan misalnya pelayanan di luar gedung, kunjungan ke rumah dan surveillans menurun dengan tajam.
4)        Menurunnya produktivitas kerja
Perhatian dan kegiatan petugas yang terpecah untuk mengatasi kesulitan hidup menyebabkan menurunnya disiplin, motivasi dan dedikasi sehingga produktivitas menurun.

b. Meningkatnya beban kerja Puskesmas
Meningkatnya beban kerja Puskesmas antara lain disebabkan oleh :
1)      Meningkatnya jumlah sasaran program/pelayanan
Krisis ekonomi menyebabkan bertambahnya jumlah keluarga miskin yang merupakan sasaran prioritas program/pelayanan kesehatan misalnya bayi, balita, ibu hamil, ibu nifas, manusia usia lanjut dan penderita penyakit kronis.
2)      Meningkatnya kegiatan program/pelayanan kesehatan
Dalam rangka mengatasi masalah kesehatan yang banyak dihadapi keluarga miskin, puskesmas harus mengaktifkan kembali beberapa kegiatan program yang sebelumnya tidak dilaksanakan secara intensif misalnya penimbangan balita, pemberian makanan tambahan, SKPG, surveilans gizi, penyakit menular. Disamping itu puskesmas harus melaksanakan kegiatan baru dari program yang sudah ada misalnya identifikasi keluarga miskin dan JPKM.
3)      Meningkatnya masalah kesehatan secra umum di wilayah kerjanya
Krisis ekonomi menyebabkan meningkatnya masalah kesehatan baik yang berakibat langsung misalnya penurunan status gizi, kemampuan mengakses pelayanan, maupun tidak langsung misalnya cidera akibat tindak kriminal, keluhan kejiwaan, sanitasi lingkungan, perilaku hidup sehat. Hal ini menyebabkan meningkatnya pelaksanaan berbagai program kesehatan lain. Menurunnya kemampuan serta meningkatnya beban kerja puskesmas membawa konsekuensi pada menurunnya mutu pelayanan puskesmas serta kondisi kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

2. Bidan
 a.   Bidan di desa
Keadaan yang dihadapi oleh puskesmas hampir serupa dengan yang dihadapi oleh bidan di desa. Kinerja bidan di desa akan menurun, karena beban kerja bertambah dan kemampuan pelayanan menurun. Hal ini akan berakibat pada penurunan hasil pelayanan kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pelayanan perbaikan gizi dan pengembangan posyandu sesuai dengan tugas dan fungsi bidan di desa.
3. Posyandu
Akibat krisis ekonomi kinerja posyandu akan menurun terutama karena dukungan/perhatian tokoh masyarakat terhambat, peranserta masyarakat/ sasaran tealihkan. Menurunnya kinerja posyandu sangat merugikan pembangunan kesehatan masyarakat di masa krisis ekonomi. Karena posyandu diharapkan dapat berperan dalam :
a.       Meningkatnya kesadaran keluarga miskin akan masalah kesehatan yang dihadapi dan segala konsekuensinya melalui penyuluhan kesehatan masyarakat.
b.      Memonitor dampak krisis ekonomi terhadap status gizi balita, status kesehatan ibu dan anak melalui penimbangan balita dan pemeriksaan kesehatan ibu dan anak.
c.       Mengatasi masalah kesehatan yang timbul misalnya melalui kegiatan pemberian makanan tambahan pemulihan.
d.      Memonitor dan mengatasi masalah kesehatan lain sebagai akibat langsung/tidak langsung krisis ekonomi misalnya diare dan lain-lain.
D.      Implikasi Kebijakan Yang Akan Datang
Menarik pengalaman dari pelaksanaan penanggulangan dampak krisis ekonomi dalam bidang kesehatan khususnya dalam pelayanan kesehatan masyarakat, beberapa implikasi kebijakan yang perlu dimasa yang akan datang adalah :
1.      Penajaman prioritas. Kelompok keluarga miskin karean rawan terhadap masalah kesehatan perlu diberi prioritas tinggi. Demikian juga sasaran tertentu, misalnya : bayi, balita, bumil, bupas, usila.
2.      Penajaman prioritas program. Untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan pembangunan kesehatan perlu lebih memberi prioritas pada program yang berdampak ungkit besar misalnya : KIA, Gizi, penyakit menular tertentu, dan lain-lain.
3.      Meningkatkan komitmn pada hal yang menjadi prioritas. Utusan untuk memprioritaskan program tertentu harus ditujunkkan dengan komitmen operasional yang nyata, misalnya : dukungan kebijaksanaan, anggaran, tenaga, logistik.
4.      Meningkatkan ketahanan sistem kesehatan. Secara bertahap pemerintah harus mulai mengurangi ketergantungan obat, bahan habis pakai serta alat kedokteran dari luar negeri, yakni dengan mulai memproduksinya didalam negeri.
5.      Meningkatkan keterlibatan lintas sektor/program terkait/masyarakat/LSM dalam pembangunan kesehatan. Keterlibatan tersebut dimulai dari gagasan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-evaluasi sehingga merasa memiliki berbagai program pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia.
6.      Meningkatkan manajemen pembangunan kesehatan. Dalam berbagai aspek manajemen pembangunan kesehatan yang dimaksudkan di sini antara lain adalah :
a.       Mengembangkan JPKM
b.      Melaksanakan bottom up planning
c.       Meningkatkan desentralisasi/otonomi
d.      Pembiayaan block grant.
 
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas
Anne Mills et al. 1989. Desentralisasi Sistem Kesehatan. WHO.
Azra, Azyumardi. 2000. Desentralisasi Pendidikan dan Otonomi Daerah Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam. Gontor. ISID
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada University Press.

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar